DIGITAL LIBRARY



JUDUL:PEMBUKTIAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PERKARA PENIPUAN DI DUNIA CYBER
PENGARANG:Noor Laily Safitri
PENERBIT:UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TANGGAL:2023-01-20


ABSTRAK

NOOR LAILY SAFITRI (1810211320091denganjudul skripsi “PEMBUKTIAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PERKARA PENIPUAN DI DUNIA CYBER.”. Tindak pidana penipuan secara online merupakan salah satu bentuk perubahan tindak pidana yang memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya internet.Tindak pidana penipuan secara online dilakukan dalam lingkup dunia maya yang disebut dengan cybercrime.Kejahatan ini dilakukan dengan menyebarkan informasi yang tidak benar melalui internet yang bertujuan untuk menipu calon korbannya guna mendapat keuntunganMenurut hasildari penelitian skripsi ini menunjukan bahwa :Pertama Pengaturan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur dalam bab III tentang informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, serta Pasal 44 Undang-Undang Nomor 19Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur secara tegas bahwa informasi atau dokumen elektronik dan/hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem pembuktian di Indonesia, kesalahan terdakwa ditentukan oleh minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Keabsahan alat bukti didasarkan pada pemenuhan syarat dan ketentuan baik segi formil dan materiil. Prinsip ini juga berlaku terhadap pengumpulan dan penyajian alat bukti elektronik baik yang dalam bentuk original maupun hasil cetaknya, yang diperoleh baik melalui penyitaan maupun hasil cetaknya, yang diperoleh baik melalui penyitaan maupun intersepsi. KUHAP telah memberikan pengaturan yang jelas mengenai upaya paksa penggeledahan dan penyitaan secara umum, tetapi belum terhadap sistem elektronik. Akan tetapi, KUHAP belum mengatur mengenai intersepsi atau penyadapan, hal ini diatur dalam berbagai Undang-Undang yang lebih spesifik. Oleh karena itu, ketentuan dan persyaratan formil dan materil mengenai alat bukti elektronik harus mengacu kepada Kitab 18 Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan undang-undang lain yang mengatur secara spesifik mengenai alat bukti elektronik tersebut. KeduapenelitianDalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban cyber crime pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodirkebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37). Selanjutnya apabila diperlukan untuk kasus tertentu korban kejahatan cybercrime dapat meminta bantuan kepada LPSK dan selanjutnya mengenai perlindungan hukum terhadap saksi dan korban kejahatan diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Dalam perlindungan hukum terhadap korban cybercrime secara mendasar ada dua model pendekatan yang dapat digunakan yaitu: 1) model hak-hak prosedural dalam hal ini korban berperan lebih aktif dan dapat membantu jaksa dalam melakukan penuntutan dan hak hadir dalam setiap tingkat proses peradilan dan 2) model pelayanan dalam hal ini melihat korban sebagai sosok yang harus dilayani oleh Polisi dan aparat penegak hukum yang lainnya, dengan demikian maka korban akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana yang adil. Pemberian bantuan kepada korban kejahatan dunia maya maupun di dunia nyata harus dilakukan pada semua tahap pemeriksaan, mulai dari penyidikan, persidangan dan pasca persidangan.

Kata Kunci : Penipuancybertransaksi elektronik.

Berkas PDF
NODOWNLOAD LINK
1FILE 1



File secara keseluruhan dapat di unduh DISINI