Penguasaan atas tanah di Indonesia secara hukum positif diatur untuk warga negara Indonesia dan juga untuk warga negara asing, namun hanya khusus dalam bentuk hak pakai dan hak sewa, namun masih banyak warga asing yang ingin memiliki hak milik atas tanah yang tentunya bertentangan dengan hukum positif di Indonesia secara diam-diam, yaitu dengan cara menggunakan perjanjian nominee atau perjanjian pinjam nama. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang bagaimana perbandingan keabsahan antara perjanjian nominee di Indonesia dengan negara-negara lain (Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, Inggris) dan bagaimana penyelesaian kasus perjanjian nominee yang melibatkan Notaris dengan pihak yang terlibat di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil dari analisis pembahasan ini adalah pertama, perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong/norma kosong, karena perjanjian nominee dapat dikatagorikan sebagai penyelundupan hukum. Kedua, akibat hukum untuk Notaris/PPAT yang terlibat dalam pembuatan perjanjian nominee dalam upaya penyeludupan hukum, Notaris diwajibkan mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum yakni dengan dibatalkannya secara hukum dan dihukum untuk membayar kerugian yang dibuat tanpa pencabutan jabatan Notaris. Sehingga pemerintah perlu untuk membuat suatu peraturan yang mengatur mengenai perjanjian pinjam nama (nominee) terutama terkait dengan hak atas tanah dan pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Thailand dan Filipina yang secara khusus melarang segala bentuk praktik pinjam nama (nominee) dengan menambahkan ketentuan dalam UUPA. Perlu juga adanya sanksi yang lebih sepadan untuk Notaris yang terlibat dalam penyelundupan hukum.