ABSTRAK

Pelanggaran dan tindak pidana pemilu sudah seharusnya diadili sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang- undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan penjatuhan sanksi maupun pemidanaannya harus sesuai dengan unsur tindak pidananya dan juga berdasarkan menilik pada ancaman minimun serta maksimum dari pelanggaran atau tindak pidana tersebut. Namun dalam praktiknya masih saja banyak pelanggaran dan tindak pidana pemilu dijatuhi hukuman yang lebih rendah dan tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2017. Pertama, pada putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor: 20/Pid.Sus/2019/PN Bjb hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa dengan pidana bersyarat terhadap pelanggaran pasal 521 Jo Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Padahal ancaman Maksimum yang diatur dalam Pasal 521 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 adalah Pidana penjara 2 tahun dan denda 24 juta rupiah. Kedua, penjatuhan pidana yang sangat jauh dari ancaman maksimum juga dapat diketahui dalam pertimbangan hakim putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor: 20/Pid.Sus/PN Bjb. Kemudian status terdakwa yang merupakan Pegawai Negeri Sipil. Yang seharusnya dan diatur dalam Undang Undang PNS tidak boleh terlibat kampanye dan harus netral menghadapi pemilu. Putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor : 20/Pid.Sus/2019/PN Bjb yang memutuskan pidana bersyarat terhadap terdakwa yang terbukti melakukan pelanggaran pasal 521 Jo Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ini jika ditinjau dari teori pemidanaan sangat jauh dari tujuan pemidanaan sendiri yaitu teori Absolut dan teori relatif.

Kata Kunci (keyword): Pidana Bersyarat, Tindak Pidana Pemilu oleh PNS, Dasar Pertimbangan Hakim