DIGITAL LIBRARY



JUDUL:KEWAJIBAN MERAHASIAKAN IDENTITAS PELAPOR TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
PENGARANG:CHRISTINA NATALIA MANALU
PENERBIT:UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TANGGAL:2019-08-28


KEWAJIBAN MERAHASIAKAN IDENTITAS PELAPOR TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ( HUMAN TRAFFICKING )

Christina Natalia M

ABSTRAK

 

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui siapa yang berkewajiban merahasiakan identitas pelapor tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) dan untuk mengetahui bagaimana sanksi hukum bagi pihak yang membongkar identitas pelapor perdagangan orang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menginventarisir peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Perdagangan Orang (Human Trafficking), identifikasi masalah dan menganalisa secara kualitatif.

Menurut hasil dari penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa : Pertama, Siapa yang berkewajiban merahasiakan identitas pelapor tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking), dalam perundang – undangannya dirasakan masih belum jelas. Dalam Undang – Undang Perdagangan Orang tidak di jelaskan secara rinci siapa saja yang bertanggungjawab dalam merahasiakan identitas pelapor, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum apabila pihak yang membongkar identitas pelapor adalah pihak yang tidak disebutkan dalam perundang – undangan tersebut. Kedua, sanksi hukum bagi pihak yang membongkar identitas pelapor perdagangan orang masih belum diatur secara jelas, baik dalam undang – undang Perdagangan Orang itu sendiri ataupun dalam undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pihak yang membongkar atau membocorkan identitas saksi dan/atau korban saksi hukumnya sudah jelas sedangkan sanksi hukum bagi pihak yang membocorkan identitas pelapor belum secara jelas diatur oleh perundang – undangan yang ada.

Kata Kunci : Kewajiban Merahasiakan, Identitas Pelapor, Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

I.                PENDAHULUAN

Adanya ancaman nyata serta kekhawatiran akan terjadinya ancaman – ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap pelapor dan keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan sebenarnya, maka dari itu identitas pelapor wajib untuk dirahasiakan. Dalam merahasiakan identitas pelapor ada beberapa pihak yang berpotensi untuk membongkar identitas pelapor sehingga pengumpulan bukti untuk mengungkapkan kasus perdagangan orang tersebut menjadi terganggu dan pihak pelapor serta keluarganya bisa dalam keadaan yang berbahaya. Apabila identitas pelapor terbongkar dan diketahui oleh pelaku perdagangan orang yang sedang dalam penyidikan maka pelaku bisa saja mengancam dan menakut – nakuti pelapor dan keluarganya agar tidak memberikan kesaksian atau bukti – bukti yang dapat membantu proses pemeriksaan terhadap pelaku perdagangan manusia. Ancaman yang diberikan pelaku bisa berupa ancaman fisik maupun psikis yang dapat membahayakan pelapor, pelaku juga bisa mengiming – imingi pelapor dan keluarganya dengan uang agar dirinya bisa terbebas dari jerat hukum. Oleh karena itu semua pihak – pihak yang bersangkutan dengan kasus perdagangan orang memiliki kewajiban untuk merahasiakan identitas pelapor dan keluarganya dan bekerja sama dalam mengumpulkan bukti – bukti tindak pidana perdaganan orang agar tidak terganggu dan pelaku dapat segera ditangkap dan korban mendapat hak – hak nya kembali.

Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang, tetapi patutlah diwaspadai bahwa karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini merupakan tindak pidana yang bersifat khusus atau di sebut dengan Extraordinary Crimes, adapun Hukum Pidana Khusus (Peraturan Perundang – undangan Tindak Pidana Khusus) bisa dimaknai sebagai perundang – undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang di atur dalam perundang – undangan khusus, di luar KUHP, baik perundang – undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP). Di dalam Law Online Lybrary dijelaskan, Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.

Namun dalam Undang – Undang tersebut penulis merasa masih ada kekaburan hukum tentang bagaimana sanksi untuk pihak yang membocorkan identitas pelapor dan pihak – pihak yang berkewajiban untuk merahasiakan identitas pelapor. Dari penjelasan dan masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat skripsi berjudul “KEWAJIBAN MERAHASIAKAN IDENTITAS PELAPOR TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ( HUMAN TRAFFICKING).”

II.             RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :

1.    Siapa yang berkewajiban merahasiakan identitas pelapor tindak pidana perdagangan orang (Human trafficking)?

2.    Bagaimana sanksi hukum bagi pihak yang membongkar identitas pelapor tindak pidana perdagangan orang (Human trafficking)?

III.          PEMBAHASAN

A.    Pihak Yang Berkewajiban Merahasiakan Identitas Pelapor Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human trafficking).

        Pelapor yang disebutkan dalam Undang – Undang 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan yang di sebutkan dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mempunyai penjelasan yang lengkap sehingga susah untuk menentukan siapa saja yang bertanggung jawab apabila hak pelapor tindak pidana perdagangan orang tidak terpenuhi, pihak – pihak yang bertanggung jawab pun akan susah untuk di tindak lanjuti. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 24 disebutkan bahwa “Laporan adalah pemberitahuan yang di sampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang – undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”, Berdasarkan definisi tersebut maka seorang pelapor bisa saja sebagai saksi ataupun korban tindak pidana.

              Karena dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 33 tidak jelaskan    secara lengkap siapa saja yang harus bertanggung jawab atas terbongkarnya identitas        pelapor yang telah dirahasiakan, maka penulis menyimpulkan bahwa pihak – pihak       yang bertanggung jawab adalah sebagai berikut :

1.      Penyelidik, Penyelidik mempunyai beberapa wewenang seperti yang di sebut dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP berikut :

a.       Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1)      Menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak pidana.

2)      Mencari keterangan dan barang bukti.

3)      Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

4)      Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dari Pasal di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyelidik berinteraksi dan bertemu secara langsung dengan pelapor dan saksi yang ada, oleh karena itu penyelidik memiliki tanggung jawab besar atas identitas pelapor selama masa pemeriksaan berlangsung. Apabila identitas pelapor dinyatakan terbongkar maka penyelidik patut untuk dicurigai sebagai orang yang membongkar identitas pelapor karena perannya yang cukup dekat dengan pelapor sendiri.

2.      Penyidik, Penyidik juga memiliki beberapa wewenang seperti yang di sebutkan pada Pasal 7 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut :

a.       Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b.      Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c.       Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e.       Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f.       Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h.      Mendatangkan  orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i.        Mengadakan penghentian penyidikan.

j.        Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal diatas menyebutkan bahwa penyidik juga memiliki wewenang untuk menerima laporan, oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa penyidik mempunyai kewajiban yang sama dengan penyelidik dalam hal merahasiakan identitas pelapor karena mereka lah yang menerima laporan langsung dari pelapor.

3.      Saksi/korban, bertanggungjawab untuk merahasiakan identitas pelapor, hal ini sudah di sebutkan di dalam Pasal 33 ayat (2) Undang – Undang 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang berbunyi sebagai berikut :

(2)     Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal – hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.

Dalam Pasal tersebut di katakan “kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi...” artinya sudah jelas bahwa saksi dan/atau korban memiliki kewajiban untuk merahasiakan identitas pelapor dan wajib dicurigai apabila identitas pelapor terbongkar dalam masa pemeriksaan dan mengganggu jalannya proses pengadilan.

4.      Keluarga Saksi/Korban yang mengetahui atau bersangkutan dengan tindak pidana perdaganan orang, juga bertanggung jawab untuk merahasiakan identitas pelapor selama pejabat yang berwenang melakukan pemeriksaan. Menurut penulis keluarga saksi/korban juga memiliki kewajiban untuk merahasiakan identitas pelapor karena mereka lah yang berpotensi untuk membocorkan identitas pelapor kepada pihak luar yang mungkin dapat membahayakan pelapor dan dapat menggangu jalannya proses pemeriksaan di pengadilan. Walaupun dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Pasal 31 disebutkan bahwa LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan.

5.      Keluarga pelapor yang mengetahui dan bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang seharusnya juga wajib untuk diawasi karena mereka bertanggung jawab atas kerahasiaan identitas pelapor, menurut penulis keluarga pelapor lah yang berpotensi secara sengaja atau tidak sengaja membocorkan identitas pelapor kepada pihak luar, keluarga pelapor juga bisa saja bekerja sama dengan pihak pihak yang ingin membuat jalannya proses di pengadilan menjadi terhambat.

6.      Penuntut umum, Penuntut umum juga memiliki tugas untuk mempelajari dan meneliti hasil penyidikan dari penyidik, oleh karena itu menurut penulis, penuntut umum pasti mengetahui tentang identitas pelapor yang ada dalam berkas dari hasil penyidikan yang di berikan penyidik untuk dipelajari dan diteliti. Artinya penuntut umum memiliki tanggung jawab untuk merahasiakan identitas pelapor dan wajib untuk di curigai sebagai pihak yang membongkar identitas pelapor.

              Seperti yang di jelaskan diatas, penulis menyimpulkan bahwa pihak - pihak             tersebut merupakan pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerahasiaan       identitas pelapor, setelah meneliti Pasal – Pasal yang bersangkutan dengan pelapor       dan      tindak pidana perdagangan orang merekalah yang  dapat di duga mengetahui      tentang identitas pelapor dan mengetahui tentang tindak pidana perdagangan                  manusia yang sedang dalam proses pemeriksaan oleh pejabat berwenang.

B.     Sanksi Hukum Bagi Pihak  yang Membongkar Identitas Pelapor Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human trafficking)

        pelaku yang membongkar atau membocorkan identitas saksi dan/atau korban sanksi hukumnya sudah jelas sedangkan sanksi hukum bagi pihak yang membocorkan identitas pelapor belum ada yang ditetapkan oleh Undang – Undang yang ada, padahal pelapor juga merupakan peran penting dalam menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana, karena dari pelapor lah  pejabat yang berwenang melakukan pemeriksaan mendapatkan informasi dan pelapor juga lah yang dapat memberikan laporan tentang kejadian yang dapat menguntungkan dalam pemeriksaan yang berlangsung.

        Oleh karena itu penulis menyimpukan bahwa Pelapor memiliki tingkatan atau setara dengan Saksi dan/atau Korban. Pelapor juga memiliki hak yang sama dengan saksi dan/atau korban dalam sebuah kasus tindak pidana. Seperti halnya hak untuk dirahasiakan identitasnya merupakan hak yang dimiliki juga oleh saksi/korban seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berisi tentang hak – hak yang dimiliki Saksi dan Korban huruf i.

        Maka hukum yang digunakan untuk memberikan sanksi kepada para pihak yang membongkar atau membocorkan Identitas pelapor selama masa pemeriksaan adalah hukum yang digunakan untuk memberikan sanksi kepada pihak yang membocorkan identitas saksi dan/atau korban. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, telah mengatur mengenai ketentuan pidana dalam hal perlindungan saksi dan/atau korban dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43.

        Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang juga telah mengatur ketentuan pidana bagi pihak yang membocorkan identitas saksi dan/atau korban dalam Pasal 24.

        Dengan demikian dapat dipahami saksi dan/atau korban dan pelapor merupakan pihak – pihak yang sangat penting peranannya dalam membantu jalannya proses penegakan hukum untuk memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang, karena tanpa keterangan dan informasi yang di berikan oleh saksi dan/atau korban dan pelapor kepada pihak penegak hukum, maka banyak sekali kasus kasus Perdagangan Manusia yang tidak akan terungkap.

 

IV.          KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan pada Bab – Bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan yang menjadi pembahasan dalam penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.               Secara normatif perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana perdagangan orang di Indonesia telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 33 ayat (1) dan (2). Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Pelapor” memiliki hak untuk dirahasiakan identitasnya, namun di dalam Undang – Undang tersebut tidak di jelaskan secara lengkap pihak siapa saja yang berkewajiban merahasiakan identitas pelapor tidak pidana perdagangan orang. Setelah meneliti Pasal 33 ayat (1) dan (2) tersebut dan undang undang yang terkait dengan pelapor tindak pidana perdagangan orang (Human trafficking), penulis pun menyimpulkan beberapa pihak yang berkewajiban merahasiakan identitas pelapor tindak pidana perdagangan orang (Human trafficking). Pihak – pihak tersebut adalah sebagai berikut :

a.            Penyidik

b.           Penyelidik

c.            Saksi/korban

d.           Keluarga Saksi/korban

e.            Keluarga Pelapor

f.            Penuntut umum

2.               Demi keamanan pelapor yang mengetahui informasi tentang kasus perdagangan orang maka pelapor diberikan hak untuk melindungi dirinya dengan dirahasiakan identitasnya. Tidak seperti Korban dan/atau saksi, apabila pihak yang membongkar identitas korban dan/atau saksi maka ada sanksi khusus yang telah ditetapkan oleh Undang – Undang, tetapi bagi pihak yang membocorkan atau membongkar identitas pelapor tidak ada hukum pasti yang menyebutkan sanksi apa yang harus diberikan kepada pihak yang membongkar identitas pelapor. Setelah meneliti Pasal – Pasal yang berkaitan tentang perlindungan bagi korban dan/atau saksi, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pelapor setara derajat atau kedudukannya dengan saksi dan/atau korban dalam sebuah kasus tindak pidana. Oleh karena itu, aturan hukum yang digunakan untuk memberikan sanksi kepada pihak yang membongkar identitas pelapor sama dengan sanksi yang diberikan kepada pihak yang membongkar identitas saksi dan/atau korban. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, telah mengatur mengenai ketentuan pidana dalam hal perlindungan saksi dan/atau korban dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43.

 

 

 

Berkas PDF
NODOWNLOAD LINK
1FILE 1



File secara keseluruhan dapat di unduh DISINI