DIGITAL LIBRARY
JUDUL | : | KEPASTIAN HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA PASCA SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2023 | |
PENGARANG | : | SAID FATHY GAZA ARAFAT BACHSIN | |
PENERBIT | : | UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT | |
TANGGAL | : | 2025-01-18 |
RINGKASAN
KEPASTIAN HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
PASCA SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2023
Oleh
Said Fathy Gaza Arafat Bachsin1, Rahmida Erliyani2
Magister Kenotariatan, Universitas Lambung Mangkurat, 110 Halaman
Dalam hukum positif di Indonesia sendiri perkawinan beda agama tidak memiliki dasar hukum yang jelas, karena pernikahan di Indonesia secara hukum diserahkan kepada masing-masing agama yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia, yaitu berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan adanya kekosongan hukum tersebut, terdapat solusi yang diberikan sebagai bentuk kepastian hukum tentang perkawinan beda agama yang di atur dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bahwa pencatatan perkawinan dapat dilakukan terhadap perkawinan beda agama setelah adanya putusan pengadilan yang mengabulkan pelaksanaan perkawinan beda agama dan pencatatan perkawinan beda agama. Terjadi pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya pada Pasal 2 ayat (1) yang melarang pernikahan beda agama dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu pada Pasal 35 huruf a yang memungkinkan dan melegalkan pernikahan beda agama melalui penetapan pengadilan. Sehingga hal ini lah yang menjadi dasar ketidakpastian hukum pernikahan beda agama di Indonesia, namun Pengadilan Negeri melalui majelis hakimnya berusaha untuk memberikan kepastian hukum dan sebagai bentuk dari hukum progresif yang ditunjukkan oleh para hakim dengan mengabulkan pernikahan beda agama.
Pada tanggal 17 Juli 2023 Mahkamah Agung menetapkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Hal ini secara sekilas menjadi solusi terhadap ketidakpastian hukum terkait dengan pernikahan beda agama di Indonesia, namun hal ini adalah sebuah preseden buruk dari Mahkamah Agung yang mencederai independensi
1 2120216310021
2 Pembimbing
kehakiman dan kebebasan kehakiman itu sendiri baik secara individual maupun institusi, karena SEMA hanyalah setingkat SEMA yang berlaku dalam ruang lingkup internal Mahkamah Agung itu sendiri dan bisa menjadi langkah intervensi lembaga terhadap kebebasan dan independensi hakim secara individual. Sehingga tujuan dari adanya penelitian ini adalah untuk menganalisis kedudukan dari Surat Edaran Mahkamah Agung yang dapat mempengaruhi hakim dalam menerima dan memeriksa suatu permohonan perkawinan beda agama dan menganalisis kepastian hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia pasca Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama.
Kedudukan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 menjadi sebuah bentuk intervensi dari lembaga internal kepada independensi hakim secara individual untuk melanggar ketentuan yang lebih tinggi dari SEMA, yaitu UU Administrasi Kependudukan, sehingga secara hukum tentu hakim harus menaati ketentuan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan, namun dikarenakan adanya SEMA akan membuat hakim tidak dapat bergerak secara bebas dan terdapat intervensi yang kuat dalam bentuk SEMA, sehingga memperkuat permasalahan ketidakpastian hukum itu sendiri dalam perkawinan beda agama dan tidak adanya perlindungan hukum dalam bentuk normatif, yaitu perlindungan hukum secara preventif.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tidak memberikan kepastian hukum yang konkrit mengenai permasalahan perkawinan dan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia, mengingat masih terdapat Pasal 35 huruf a UU
Administrasi Kependudukan yang secara hierarki lebih tinggi daripada Surat Edaran Mahmkamah Agung, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang terus berlanjut. Seharusnya, dalam memberikan kepastian hukum perkawinan beda agama adalah dengan merubah Undang-Undang Administrasi Kependudukan, khususnya pada Pasal 35 huruf a, bukan dengan menetapkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang menyimpangi ketentuan undang-undang.
Banjarmasin, 7 Januari 2025
Said Fathy Gaza Arafat Bachsin, S.H.
LEGAL CERTAINTY FOR THE REGISTRATION OF INTERFAITH
MARRIAGES AFTER THE SUPREME COURT CIRCULAR LETTER NUMBER
2 OF 2023 By
Said Fathy Gaza Arafat Bachsin1, Rahmida Erliyani2
ABSTRACT
Keywords: Legal Certainty, Interfaith Marriage, Court Decisions, Supreme Court Circulars.
The purpose of this study is to analyze the position of the Supreme Court Circular Letter which can influence judges in examining applications for interfaith marriage and analyze the legal certainty of interfaith marriage in Indonesia after the Supreme Court Circular Letter No. 2/2023. This research uses normative legal methods. The results of this study found that , first, the position of the Supreme Court Circular Letter is a form of intervention from internal institutions to the independence of individual judges to violate the higher provisions of the Supreme Court Circular, namely the Population Administration Law, so that legally of course judges must comply with the provisions of Article 35 a of the Population Administration Law, but due to the existence of the Supreme Court Circular Letter will make judges not can move freely and there is a strong intervention in the form of a Supreme Court Circular. Second, the Supreme Court Circular Letter No. 2/2023 does not provide concrete legal certainty regarding the issue of interfaith marriage in Indonesia, considering that there is still Article 35 a of the Population Administration Law which is hierarchically higher than the Supreme Court Circular, thus causing continued legal uncertainty. Supposedly, in providing legal certainty for interfaith marriages, it is by amending Article 35 a of the Population Administration Law, not by stipulating the Supreme Court Circular Letter that deviates from the provisions of the law.
NO | DOWNLOAD LINK |
1 | FILE 1 |
File secara keseluruhan dapat di unduh DISINI